12 May 2009

Trauma dan kebebasan

Bagaimana mendefinisikan luka? Jika itu luka fisik, tentu mudah. Tapi ini luka hati. Trauma berkepanjangan tentang kekerasan dan kekuasaan. Tentang tentara dan senjata. Tentang perintah dan komando. Tentang abdi dan pamong. Luka hati itu membekaskan memar hitam. Menjadi pengalaman yang susah dilupakan, meski acuh adalah pilihan. Trauma itu menjadi jera yang malahan membangkitkan semangat untuk tak sedetikpun sudi melupakan. Maka, trauma selalu tak pernah dapat dijelaskan dengan terang.

Lantas ada sekelompok orang yang ingin membagi trauma itu pada generasi sesudahnya. Mereka ingin agar orang ingat betapa para penyebab trauma ini tak pantas dilirik. Para korban ini menggambar tangan sang tentara yang berlumuran darah. Juga sebilah pisau di balik baju safarinya. Juga sepotong hati yang membusuk di sana-sini. Di latar belakang gambar itu, wajah-wajah pucat para korban menyeruak, menagih keadilan.

(Para pensiunan jenderal itu seharusnya sudah tamat)

Sialnya, kini mereka sedang intim dengan kekuasaan. Sejengkal lagi mereka akan merengkuhnya dengan genggaman erat. Kelit mereka sungguh licin. Tampik mereka sungguh ulet. Dalih mereka sungguh gigih. Seperti strategi perang yang dipelajari seumur hidup, mereka bergerilya dengan lincah. Sesekali menghilang, menggalang kekuatan dan sekejap kemudian muncul dengan senyum licik.   

Kini pensiunan jenderal itu ada di atas panggung. Kita selalu bisa memilih. Melemparinya dengan bunga atau tomat busuk. Karena ini adalah tentang compassion.

* * *

Berapa harga untuk kebebasan? Semua.

Apalagi jika kebebasan itu –dulu, lama sekali– hanya berkelebatan di balik dinding istana. Kebebasan itu –dulu, lama sekali– hanya terucap sesekali dari mulut pejabat yang sejatinya hendak mengatakan, “Anda boleh bebas, tapi kami cengkeram kepalamu, badanmu, sekaligus ekormu”. Kebebasan itu –kebebasan informasi, tepatnya– telah lama tidak pernah menjadi milik kita. Ia ada tapi tiada. Ada antara di antara ada dan tiada.         

Manusia berpetualang, menyelidik, menelusup segala relung demi mencari kebebasan. Manusia belajar, berbuat salah, dan menghasilkan ide-ide besar, demi dan untuk kebebasan. Merenggut kebebasan sama dengan mengubur jiwa. Memanipulasi kebebasan, sama dengan menikam raga. Merekayasa kebebasan adalah pembodohan yang telak.  Maka, manusia berjuang untuk kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan atau apapun yang membelenggu akal, jiwa dan raga. Dengan begitu manusia menemu hakikatnya. Secitra dengan penciptanya.

Kini kebebasan telah dilembagakan. Informasi dibeberkan kepada siapa saja dan untuk apa saja. Kini (seharusnya) tidak ada lagi operasi intelejen yang serampangan. Tidak ada lagi undang-undang siluman yang muncul ke publik menjelang pengesahan. Kebebasan informasi (seharusnya) sanggup meremukkan kasak-kusuk di lobi hotel. Juga rapat-rapat rahasia segelintir orang tentang nasib bangsa. Dari sinilah sejarah diciptakan. Sejarah yang ditulis oleh rakyat, tentang negara –dan para penyelenggaranya– yang terus disorot segala sepak terjangnya.

Siapa yang berdaulat atas kebebasan? Semua.

 * * *

The Facts

 

KPU Diminta Tolak Capres Pelanggar HAM

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum diminta melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan keterlibatan calon presiden/wakil presiden dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. KPU harus berani menolak calon-calon tersebut apabila ditemukan indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM oleh yang bersangkutan.

Desakan itu disampaikan oleh Imparsial dalam jumpa pers, Senin (4/5). Berbicara dalam jumpa pers tersebut Rusdi Marpaung (Direktur Manajemen), Poengky Indarti (Direktur Eksekutif), dan Al Araf (Koordinator Riset).

Imparsial mempertanyakan majunya Prabowo Subianto dan Wiranto sebagai kandidat presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2009. Mereka menilai majunya kedua tokoh tersebut tidak layak mengingat keduanya diduga bertanggung jawab atas beberapa kasus kejahatan HAM seperti kasus penculikan aktivis prodemokrasi 1998, pelanggaran HAM di Timor Timur, dan kasus Semanggi.

Selasa, 5 Mei 2009

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/05/03470671/kpu.diminta.tolak.capres.pelanggar.ham

 

***

DPR Pilih Tujuh Anggota Komisi Informasi

Jakarta, Kompas - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat memilih tujuh anggota Komisi Informasi setelah melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 21 calon.

Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, membuat peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik, serta menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Ketujuh calon anggota Komisi Informasi terpilih secara berurutan sesuai perolehan nilai adalah Abdul Rahman Ma’mun (79,86), Amirudin (77,72), Ramly Amin Simbolon (77,67), Henny S Widyaningsih (77,62), Ahmad Alamsyah Saragih (77,29), Dono Prasetyo (77,08), dan Usman Abdhali Watik (76,52).

Jumat, 8 Mei 2009

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/08/04145844/.dpr.pilih.tujuh.anggota.komisi.informasi

 

 

No comments:

Post a Comment