19 May 2009

Neolib dan De Soto


Kisah tentang pedagang pasar tradisional yang memprotes hadirnya hipermarket di kota Serang Banten sungguh heroik. Di saat semua orang mewacanakan anti neoliberalisme, para pedagang ini vis a vis, berhadap-hadapan langsung dengan pelakunya. Seperti kisah Daud dan Goliath, kita berharap Daud yang menang, tapi ternyata tidak. Daud yang ini tidak punya senjata mematikan untuk melumpuhkan sang Goliath. Beberapa serangan mungkin membuat sang Goliath terhuyung-huyung akan roboh, tapi Goliath pasti bangkit lagi.

Tentang neolib telah sering diperjelas oleh beberapa pengamat ekonomi, namun beginilah sarinya. Pertama, neolib adalah situasi dimana negara absen di pasar. Negara menarik diri dari hiruk-pikuk pasar dan mendelegasikan sepenuhnya roda ekonomi pada buas dan serakahnya pelaku bisnis. Yang dapat kita endus dari situasi ini adalah lahirnya kebijakan swastanisasi, privatisasi, deregulasi dan pasar bebas. Dalam skala kecil, pejabat-pejabat di daerah mengundang investor asing sebanyak-banyaknya guna membangun pabrik dan membuka lapangan kerja. (Pejabat-pejabat itu korban ilusi).

Kedua, akar neolib adalah homo economicus. Inilah potret kemanusiaan abad ini. “Manusia ekonomi” adalah puncak pencapaian segala filsafat tentang manusia. “Manusia ekonomi” mendasari seluruh kisah hidupnya pada transaksi. Persahabatan, kekeluargaan, hubungan kerja, atau interaksi sosial lainnya dibangun atas mental bertransaksi ; “aku dapat apa, engkau laba apa”.  Setelah itu, pasar dengan jeli membuat segala hal menjadi komoditas. Maka mengalirlah dengan mahaderas dari “perut pasar”, segala produk dan jasa yang (mungkin) tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Bagaimanapun, tujuan utama kerja ekonomi adalah untuk meraih laba. Dalam bungkus apapun, kerja ekonomi tak pernah dapat menyembunyikan watak aslinya. Seperti Goliath, semua akan segera dilindas. Negara ringkih seperti Indonesia hanya punya dua opsi. Menghamba pada neolib dan menjadi pembeli kelas recehan di pasar dunia, atau membentengi ekonomi negeri dengan menghadirkan sosok negara yang “pasang badan” melindungi rakyatnya.

Doa-doa bergema dalam sepi.

 

* * *

Cerita tentang ekonomi kerakyatan yang melekat pada tema kampanye calon presiden negeri ini mengingatkan kita pada seorang ekonom asal Peru bernama Hernando De Soto. Ia membongkar sebuah misteri tentang dead capital. Modal mati. Dengan sederhana dia menggambarkan bahwa seluruh rakyat di negara dunia ketiga adalah produsen modal. Seluruh kekayaan rakyat dapat diubah menjadi kapital. Menjadi modal. Inilah misteri yang ia sodorkan ke tengah arena yang dikuasai World Bank, IMF dan WTO.  

De Soto menjadi pembisik tulus bagi negara-negara dunia ketiga untuk membantah nasehat-nasehat negara kapitalis Barat. Ia meyakinkan pembaca bukunya “The Mystery of Capital : Why capitalism triumphs in the west and fails everywhere else” (Rahasia Modal : Mengapa kapitalisme berhasil di Barat dan gagal di sembarang tempat) bahwa ini bukan soal “ketertinggalan budaya” melainkan semata soal ketakmampuan menghasilkan modal. 

Gagasannya sungguh menyentak dan mengagetkan. Negara berkembang seperti Indonesia tidak pernah memperhatikan betapa 200 juta lebih rakyat Indonesia punya aset yang berlimpah. Aset itu ada di:  tabungan keluarga miskin; rumah yang berdiri di atas tanah yang tak jelas pemiliknya; perusahaan tanpa badan hukum; industri yang tersebar tanpa dilirik investor dan lain sebagainya. Karena semuanya tidak tercatat, maka kekayaan (assets) rakyat itu tidak siap dialihkan menjadi modal (capital); tidak bisa diperjualbelikan di pasar yang lebih luas dari lingkungan si miskin; tidak mungkin diagunkan dan mustahil jadi saham dalam bisnis investasi.

“Kelangkaan aset” yang selalu menjadi alibi bagi negara berkembang untuk berhutang pada negara kapitalis, ditangkis dengan tangkas lewat gagasan ini.

Inilah ekonomi rakyat sesungguhnya. Dan, demikianlah De Soto. Lantas di mana Mega-Pro berada?


* * *


The Facts

Hipermarket Didemo

Pedagang Tradisional Serang Merasa Dirugikan

Selasa, 12 Mei 2009

SERANG, KOMPAS – Puluhan pedagang tradisional, Senin (11/5), berunjuk rasa menolak pembangunan sebuah hipermarket di Kota Serang, Banten. Mereka takut semakin tersisih karena semakin banyak toko ritel modern yang beroperasi di seputar Kota Serang.

Para pedagang tradisional itu berjalan kaki dari stadion Maulana Yusuf, menuju Kantor Pemerintah Kota Serang, sekitar pukul 09.30. mereka membawa spanduk bertuliskan penolakan atas pembangunan hipermarket Carrefour di Kota Serang.

Beberapa wakil pedagang yang tergabung dalam Aliansi Pedagang Tradisional (APT) itu pun berorasi untuk mendesak Pemerintah Kota Serang untuk menghentikan pembangunan hipermarket tersebut.

Mereka beralasan, keberadaan hipermarket baru itu akan membuat para pedagang tradisional semakin tersisih. Mereka juga khawatir akan semakin banyak pedagang tradisional yang bangkrut karena kehilangan pelanggan. (NTA) 

* * *

Mega-Bowo Siap Tarung

Kedua Partai Kedepankan Ekonomi Kerakyatan

Sabtu, 16 Mei 2009

JAKARTA, KOMPAS – Megawati Soekarnoputri bersama Prabowo Subianto menyatakan siap bertarung dalam Pemilu Presiden 2009 menghadapi pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto.

Setelah melewati tarik-ulur yang diwarnai pedebatan alot, PDIP dan Gerindra sepakat untuk berkoalisi.

Pernyataan itu disampaikan dalam jumpa pers di Jalan Teuku Umar, Jumat (15/5) menjelang tengah malam. Dalam kesempatan itu, Megawati-Prabowo didampingi Puan Maharani, Theo Syafei, Pramono Anung, Hasyim Djojohadikusumo, Suhardi dan Fadli Zon.

PDIP dan Gerindra antara lain bersepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan Indonesia serta berkomitmen terhadap NKRI, Pancasila dan keutuhan bangsa.

No comments:

Post a Comment