19 June 2009

Jembatan dan Peradaban


Jembatan menghubungkan tempat. Masing-masing tempat menyumbang peri kehidupan satu sama lain. Industri dan teknologi yang hiruk-pikuk di seberang sini hendak disalurkan ke seberang sana. Apakah masing-masing tempat siap untuk lebih intim, bukan perkara penting. Puncak jembatan bukanlah baja, kawat besi dan lampu. Puncak jembatan adalah peradaban.

Jembatan  menghubungkan peradaban plus noda-noda hitam kehidupan. Sebut saja kriminalitas, prostitusi, urbanisasi dan mental modernisasi kekanak-kanakan. Dengan jembatan, peradaban dipertaruhkan, dicampuradukkan dan ditransformasikan. Hasil akhirnya ada pada manusia. Biarlah noda-noda hitam itu tenggelam dan hilang di dasar jembatan.

Jembatan mempertemukan orang, serikat, korporasi dan mimpi-mimpi. Hidup memang jadi berwarna. Interaksi jadi lebih mudah. Keyakinan-keyakinan baru mulai dirajut. Harapan-harapan indah sedang dirangkai.

Peradaban dan martabat manusia adalah awal dan akhir pembangunan jembatan. Kecuali itu adalah gemerlap dan kemegahan, yang tak abadi.


* * *

Mereka adalah barisan pencari nafkah yang dibicarakan dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945. “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Mereka merangsek, menerobos perbatasan, meninggalkan bumi pertiwi dan singgah di negeri orang. Mereka menjual kepercayaan pada para pemimpin negeri bersama tuntutan akan nasi dan uang bagi keluarga di kampung.

Domestic helper, begitu mayoritas status mereka. Domestic victim, begitu jamaknya nasib akhir mereka.

Mereka tahu ada kawan di sekitarnya yang selalu jadi korban. Mereka juga tahu, kawan yang jadi korban itu jarang diperhatikan. Yang mereka tidak tahu, ada perjanjian kerjasama yang di bagian akhir ada paraf bertanda “negara majikan” dan “negara hamba”. Yang mereka tidak tahu, ada ratusan triliun uang mengalir dan berputar berkat keringat dan air mata mereka.

Republik ini belum juga beranjak memperbaiki perjanjian pengiriman dan perlindungan bagi mereka. Mereka tidak tahu, pemerintah republik ini tidak pernah belajar apapun dari peristiwa apapun!

Dari negeri seberang yang tak bersahabat itu, lamat-lamat mereka mendengar dalam kesedihan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

 

* * *

 

The Facts

 

SURAMADU DIRESMIKAN

Kesejahteraan Masyarakat Madura Diharapkan Terangkat

 

BANGKALAN, KOMPAS – Presiden SBY mengharapkan pengoperasian Jembatan Suramadu benar-benar mampu meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Madura.

Oleh karena itu, pembangunan Jembatan Suramadu harus ditindaklanjuti dengan pengembangan kawasan Surabaya-Madura secara terkoordinasi, terarah dan terpadu.

Demikian diungkapkan Presiden Yudhoyono dalam peresmian Jembatan Suramadu, Rabu (10/6) di pintu tol Suramadu sisi Madura di dusun Sumber Wungu, Desa Sukolilo Barat, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Secara khusus, pembangunan Jembatan Suramadu akan ditindaklanjuti oleh Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS) sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 27 tahun 2008 tentang BPWS. (ABK/BEE/DAY)

 

Kompas, Kamis 11 Juni 2009

 

* * *

 

15.000 TKI Pulang ke Tanah Air

 

MANADO, KOMPAS – Krisis ekonomi global setahun ini memaksa sekitar 15.000 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sejumlah negara pulang ke Tanah Air. Mereka terkena pemutusan hubungan kerja di negara tempat mereka bekerja.

“Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor manufaktur di Uni Emirat Arab, Malaysia dan Korea Selatan,” ujar Mohammad Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNPP-TKI), kepada wartawan di Manado, Selasa (9/6).

Ia mengatakan, pemutusan kontrak kerja TKI semata karena alasan krisis ekonomi sehingga proyek di beberapa negara mengalami penundaan pekerjaan.

Catatan BNPP-TKI menyebutkan, terdapat 6 juta pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Sebanyak 4,5 juta diantaranya tercatat resmi dan 1,5 juta orang tidak tercatat. Pekerja Indonesia menghasilkan devisa untuk negara 12 miliar dollar AS (sekitar Rp 120 triliun). Devisa dari TKI dinilai sebagai modal bagi pemerintah pada masa krisis. (ZAL) 

 

Kompas, Rabu 10 Juni 2009

Baca Lanjutannya....

08 June 2009

Mahasiswa dan Gated Community

Mahasiswa yang tawuran adalah seburuk-buruknya produk dunia pendidikan. Silakan ajukan jutaan alasan, mahasiswa yang tawuran tetap melukai hati rakyat. Mahasiswa yang tawuran ibarat pendeta yang selingkuh. Silakan ajukan jutaan alibi, mahasiswa yang tawuran adalah dekadensi moral paling berat. Ya, hanya moral yang menjadi amunisi mahasiswa. Anda tidak bisa mengaku mahasiswa jika hanya bermodal kecerdasan dan kecakapan pribadi. Mahasiswa adalah autonomost moral agent.

Mengalami menjadi mahasiswa adalah mengalami puncak dunia pendidikan. Puncak, dimana dari situ Anda (seharusnya) memandang kehidupan sebagai akhir dan tujuan dari rutinitas belajar. Non scholae sed vitae discismus, belajar bukan untuk sekolah, tapi untuk kehidupan. Pada kehidupan, mahasiswa mengabdi. Untuk sampai pada itu, mahasiswa mengerahkan akal dan budinya, disiplin ilmunya dan nilai-nilai hidupnya.

Kemampuan “mengulur horison”, menjadi visioner, menjadi imajinatif, memandang jauh ke depan, meyakini “cahaya di ujung terowongan”, sudah jarang kita jumpai di kalangan mahasiswa. Modernisasi membuat mahasiswa di metropolitan terpenjara dalam urusan-urusan tentang dirinya sendiri. Mahasiswa yang tidak mampu keluar dari penjara ini dan terus meributkan urusan-urusan pribadi atau ego kelompok, akan ditelan-telan bulat-bulat oleh kehidupan. Mahasiswa yang seperti ini akan menjadi budak modernisasi. Pada hakikatnya, ia sudah mati.

 

* * *

 

Sekumpulan orang yang melokalisir dirinya sendiri di balik pagar tinggi dan pos penjagaan dikenal dengan gated community. Mereka dicirikan lewat komplek perumahan bertembok tinggi dan pagar melingkar, mengepung rumah-rumah. Di gerbang masuk, ada petugas keamanan sewaan dan berderet-deret peraturan bagi orang yang datang dan pergi. Komplek ini harus selalu steril seperti aquarium berkaca gelap. Ada denyut kehidupan di dalamnya, tapi orang tidak tahu apa yang sedang berlangsung di dalamnya.

Mereka mendewakan keamanan dan kenyamanan. Mereka hidup dalam dunia yang mereka nikmati sendiri. Tentu saja mereka berasal dari kelas sosial di atas rata-rata. Seperti gasing, mereka punya irama berputar yang beda dengan dunia sekitarnya. Penghuni komplek hanya keluar gerbang seperlunya. Toh, seluruh kebutuhan untuk hidup sudah bisa mereka kendalikan dari dari balik pagar. Mereka menciptakan dunia –sekaligus akhiratnya– sendiri.

Gated community bermunculan di kota-kota. Bukan pemerintah atau agama atau budaya lokal yang mengatur hidup mereka, melainkan kepentingan mereka sendiri. Bukan etika, atau norma atau kaidah bersama yang membuat mereka tunduk, melainkan kebutuhan mereka sendiri. Jika kesemuanya itu dirasa mengganggu, mereka akan melapis pagar, menambah tembok atau memasang duri. Mereka merasa berhak menarik diri dari dunia sekitar. Di luar pagar, semuanya adalah musuh.

Mereka memburu kenyamanan dan keamanan, tapi sesungguhnya mereka hidup dalam ketakutan.

  

* * *

 

The Facts

 

Mahasiswa YAI-UKI Tawuran, Belasan Luka

 

JAKARTA, KOMPAS – Ratusan mahasiswa YAI dan UKI, Kamis (4/6) sore, tawuran. Belasan orang terluka. Kantin, ruang kuliah dan perpustakaan gedung UKI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, terbakar akibat bom molotov. Di Bekasi, seorang polisi dikeroyok puluhan tentara.

Suasana yang sudah mulai memanas sejak pukul 17.00 di Jalan Diponegoro itu mulai menjadi-jadi pada pukul 17.30. aksi saling melempar bom molotov, batu, botol dan benda keras lainnya di jalanan antara mahasiswa Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) dan mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) berubah setelah puluhan anggota Samapta Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat dua kali membendung bentrokan.

Saat kedua kelompok mahasiswa dihalau masuk kampus mereka yang bersebelahan, dari balik kampus puluhan mahasiswa YAI melemparkan bom molotov ke arah Kampus UKI.

 

Jumat, 5 Juni 2009

 

* * *

 

PORTAL

Pembongkaran Menuai Protes

 

JAKARTA, KOMPAS – Pembongkaran portal di perumahan Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (1/6) menuai protes.

Heru Tri Widodo, salah seorang warga RW 14, tergopoh-gopoh keluar rumahnya saat portal di depan rumahnya dibongkar petugas las. Ia mencari Wali Kota Jakarta Selatan Syahrul Effendi.

Di tengah para petugas yang membongkar portal, Heru mengancam, jika portal yang dibangun dengan kesepakatan warga dan dewan kelurahan setempat itu dirobohkan, dia akan pindah dari tempat tersebut.

“Kalau portal-portal dan ‘polisi tidur’ dibongkar, kawasan ini bakal tidak aman dan nyaman lagi. Lebih baik saya pindah. Rumah saya sewakan untuk tempat usaha,” teriaknya di lokasi pembongkaran di Jalan Sekolah Duta V.

Dia memperkirakan, pembongkaran portal akan memicu kalangan pengemudi kendaraan umum seperti metromini kembali bersikap ugal-ugalan. “Kalau sudah begini, siapa yang mau bertanggungjawab?” ujarnya.

Kepada warga yang berkerumun, Syahrul Effendi menjelaskan bahwa pembongkaran portal dan polisi tidur tidak dilakukan terhadap semua portal. “Hanya portal dan polisi tidur yang dinilai mengganggu lalu lintas dan menghambat penanggulangan bahaya saja yang dibongkar,”ucapnya.

Ia mengingatkan, di tempat-tempat tertentu, adanya portal justru akan menghambat mobilitas kendaraan pemadam kebakaran.

 

Selasa, 2 Juni 2009

Baca Lanjutannya....

01 June 2009

Birokrasi dan Korporasi

Dalam cerita pendek Orang-orang Terbungkam karya Albert Camus, Yvars adalah seorang lelaki tua pembuat tong yang muram dan sedih. Ia baru saja gagal menggalang pemogokan di pabriknya. Lassalle, sahabat sekaligus mandornya, mendadak membela pemilik pabrik dan menghalangi pemogokan. Yvars tahu pemilik pabrik pasti menolak buruhnya mogok, tapi Lassalle? Yvars tak menduga. Ia sedih karena tembok itu kini berlapis, sahabat dan mandornya kini jadi bagian dari sistem yang angkuh itu.

Ini adalah kisah tentang sistem dan pelakunya.

Layanan kesehatan di republik ini mau tidak mau harus diurus oleh para birokrat dan sistem yang telah keropos nilai. Sistem dan birokrasi itu berkelindan dengan sangat kompleks. Menurut aturan, mereka terhubung satu sama lain, tapi kasatmata kita menyaksikan mereka bekerja sendiri-sendiri. Sialnya, mereka juga dihinggapi “mentalitas proyek”.  Bekerja jika ada proyek dan selanjutnya, terima gaji buta.

Negara harus re-orientasi, tidak cukup hanya mengobati yang sakit tapi juga harus menyehatkan rakyat. Fasilitas dan subsidi kesehatan untuk orang miskin harus diprioritaskan. Sambil memikirkan itu, negara perlu bekerja sekuat mungkin mereformasi birokrasi. Merekalah mesin yang bekerja mewujudkan segala cita-cita ideal. Pada birokrasi kita menatap etos kerja para pamong. Jika para birokrat terus bekerja untuk dirinya sendiri, bangsa ini akan mencatat sejarah kelam tentang rakyat tanpa negara.

 

* * *

 

Korporasi tak pernah mau bekerja sendiri. Ia menggandeng siapa saja yang akan menguntungkan dirinya. Ia melayani siapa saja yang bisa memupuk labanya. Ia bermanis muka pada siapa saja yang membuka jalan bagi derasnya profit. Ia mengabdi pada laba. Profit adalah tuhannya.

Di negeri ini, korporasi tidak hanya menggandeng, melayani dan bermanis muka, ia intim dengan penguasa. Menjelang malam selalu terdengar bisikan lembut di telinga penguasa, “lancarkan bisnisku, maka kulayani keinginanmu. Jauhkan para pengganggu itu dari perputaran uangku, maka kubuat kau bertahta selamanya”. Menjelang istirahat makan siang, sang penguasa mengulangi pidato yang sama di hadapan rakyat, “kami solider terhadap korban dan berkomitmen menyelesaikan masalah ini secepatnya. Korporasi harus segera menuntaskan tanggung jawabnya pada para korban”. Tapi, kejadian tadi malam terulang lagi. Ada bisikan intim di telinga yang membuat lelap penguasa.

Hanya terjadi di negeri ini, masalah sosial yang memilukan dan menghina martabat manusia bisa bertahan sampai tiga tahun. Masalah yang terang benderang ini dibuat berkabut dan penuh kompromi. Di ujung kompromi dan lobi-lobi itu ada keluarga-keluarga yang hilang masa depannya. Di balik kertas peraturan, ketetapan dan kesepakatan antara negara dan korporasi, ada wajah kanak-kanak yang telah terenggut dunianya.

Yang dibutuhkan hanyalah hati yang berpihak, batin yang empatik dan suara hati yang solider pada korban. Dari situ akan tampak ketegasan, keberanian, jiwa kesatria dan kenegarawanan. Berturut-turut di belakang itu baru disuguhkan segala aturan, kewenangan, ketetapan dan syarat-syarat yang diperlukan agar para korban terpenuhi haknya. Sebab tak ada tempat bertanya paling jujur selain batin kita sendiri.

Samar-samar aku mendengar bisikan lembut itu lagi, tapi kali ini aku berharap sang penguasa bangkit dari ranjang dan mengusir sang pembisik pergi jauh.

 

* * *

  

The Facts

 

Anak Dirawat, Orangtua Tak Mampu Tebus Obat

Berjuang untuk Mendapatkan Kartu Jamkesmas

 

JAKARTA, KOMPAS – Muhammad Akbar Firdaus kini tergeletak tak berdaya di ruang kelas III RSUD Koja, Jakarta Utara, Selasa (26/5), karena menderita gizi buruk dan diare. Kondisinya semakin memprihatinkan karena kedua orangtuanya, Karnadi (29) dan Sutinah (28), tidak mampu menebus obat.

Meski kondisi ekonomi kedua orangtua Akbar tergolong miskin, mereka tidak mendapat dispensasi pelayanan pengobatan gratis karena tidak memiliki kartu Keluarga Miskin (Gakin), surat keterangan tidak mampu (SKTM), atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Karnadi dan Sutinah tidak memiliki kartu Gakin dan SKTM karena tidak memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Permohonan untuk mendapatkan kartu Jamkesmas ke Departemen Kesehatan yang sudah diajukan sejak Februari lalu juga belum dikabulkan.

“Saya tidak pegang uang. Saya bekerja sebagai sopir taksi dengan penghasilan sehari habis untuk hari itu juga. Saat anak sakit, saya tidak bisa bekerja. Saya bingung, bagaimana harus menebus obat,” kata Karnadi sambil menggendong dan membujuk Akbar yang sedang rewel di kamar 410

Rabu, 27 Mei 2009

 

* * *

Korban Lumpur Protes

3 Tahun Lumpur Lapindo, Semburan Gas Semakin Meluas

 

SIDOARJO, KOMPAS – Sekitar 1.000 korban lumpur Lapindo dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Sidoarjo berunjuk rasa pada Rabu (27/5) di Sidoarjo dan Surabaya. Dari Sidoarjo ke Surabaya, ribuan warga itu berkonvoi sepeda motor dan mobil. Aksi itu dilakukan setelah beberapa warga belum menerima cicilan ganti rugi Rp 15 juta pada Mei 2009.

Selain memprotes belum diterimanya cicilan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya untuk bulan ini, warga berunjuk rasa ke kantor Bank Indonesia Surabaya. Mereka meminta perpanjangan masa perlakuan khusus kredit perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo. Sejak awal 2007, korban lumpur dari Perumtas dibebaskan beban bunga dan denda cicilan rumah dari bank yang mengucurkan kredit.

“Ada sekitar 400 warga kami yang belum menerima cicilan sisa pembayaran 80 persen sebesar Rp 15 juta untuk bulan ini. Selain itu, batas perlakuan khusus kredit rumah bagi korban lumpur di Perumtas akan berakhir pada 29 Mei 2009. Kami minta perbankan agar memperpanjang masa perlakuan khusus tersebut.,” ucap koordinator warga Perumtas Koes Sulassono.

Kamis, 28 Mei 2009

Baca Lanjutannya....

24 May 2009

Khoiyaroh dan Penguasa

Khoiyaroh adalah peringatan. Kematiannya mengingatkan kita untuk selalu tunduk pada suara hati. Kanak-kanak Khoiyaroh mengajak kita untuk melepaskan kemelekatan yang membuat bising batin dan pada akhirnya mengaburkan suara hati. Kemelekatan itu ada pada jabatan, harta dan status sosial. Kemelekatan itu membuat kita menjadi manusia yang tidak lepas-merdeka-bahagia. Ia juga menyilaukan dan memacu adrenalin kita untuk terus menumpuk, merebut, menguasai dan menyingkirkan yang lain.

Beginilah jadinya kalau sipil dipersenjatai. Tugasnya sebagai pamong terbungkus pentungan dan seragam. Fungsinya sebagai pengayom terlilit wewenang untuk sewenang-wenang. Satpol PP itu melekat pada jabatan, tugas dan senjatanya hingga suara hatinya riuh tak terdengar. Yang nyaring di telinganya hanyalah perintah dan komando atasan. Kemelekatan membutakan, menulikan dan mengubur suara hati manusia yang luhur.

Khoiyaroh tidak sendiri. Ada jutaan warga yang selalu menderita karena para pamong tidak berpihak padanya. Pamong bekerja untuk atasannya. Atasannya bekerja untuk bosnya. Bosnya bekerja untuk juragannya. Juragannya bekerja untuk penguasa. Penguasa bekerja demi jabatan, harta dan status sosialnya sendiri.  Maka sejatinya tidak ada yang bekerja untuk mengayomi Khoiyaroh dan jutaan warga lainnya.

Gelekat Lewo Gewayang Tanah, yang dalam bahasa Flores berarti mengabdi pada kepentingan publik, ternyata hanya ada di komik.

Marah pada siapa? Marah pada apa? Marah untuk apa? Amarahku tersumbat dan segera meledak.


* * *


Kekuasaan adalah legitimasi. Padanya ada amanah.

Rakyat yang menggugat adalah rakyat yang kuat. Sebab, martabat harus diperjuangkan, sebesar apapun tembok yang akan digempur. Rakyat yang kuat adalah rakyat yang terorganisir. Organisasi warga sipil yang solid jauh lebih kuat dari kekuasaan apapun. Sebab hanya martabat yang dipertaruhkan. Maut tak akan membuat mereka takut. Kematian memperjuangan martabat adalah kehormatan. Sementara “musuh” mereka memperjuangkan banyak hal, organisasi warga sipil hanya ingin membela martabat. Maka, kaki tak bisa mundur, tekad tak akan urung. Melawan atau ditindas.

Kini kota tak lagi ramah pada penghuninya. Kini kota merasa perlu menggusur mereka yang mengotori wajahnya. Kota adalah pertumbuhan, percepatan dan pembangunan. Tidak ada tempat bagi mereka yang hanya sekedar ingin mencari nafkah, mengais rejeki. Kota adalah estetika, harmonisasi dan keindahan. Tidak ada tempat bagi mereka yang menumpang hidup, merantau dan memperbaiki nasib. Kota adalah awal, akhir dan pusat kehidupan. Tidak ada tempat bagi mereka yang sekedar ingin menyambung nafas, membangun keluarga sederhana dan bekerja seadanya. Maka, melawanlah atau ditindas.

Warga miskin di kota besar ibarat lumut hijau yang menempel di kolam porselen bening dan mahal. Kecil tapi mengganggu. Warga miskin di kota besar ibarat benalu di pohon beringin raksasa. Berjejalan dan merusak. Warga miskin di kota besar ibarat parasit di rangkaian bunga yang harum dan indah. Merambat dan bau. Kota seketika menjadi angkuh. Ia tak lagi bersahabat dengan desa yang menyumbang banyak hal padanya. Di Indonesia, warga digusur dari tanah lahirnya sendiri. Warga diusir dari bumi pertiwinya sendiri. Maka, melawanlah atau ditindas.

Kekuasaan adalah amanah. Padanya ada legitimasi.

* * *

 

The Facts

Khoiyaroh Akhirnya Meninggal

SURABAYA, KOMPAS – Siti Khoiyaroh (4), balita penderita luka bakar akibat tersiram kuah panas bakso pada saat penertiban pedagang kaki lima di Jalan Boulevard, Surabaya, akhirnya meninggal di Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya, Senin (18/5). Siti dinyatakan gagal melewati masa kritis kedua saat mengalami gagal fungsi organ tubuh. Siti mengalami gagal fungsi paru-paru, jantung dan ginjal.

Saat penertiban PKL pada Senin (11/5) lalu, Sumariyah, ibu Siti, panik berlari seraya membawa gerobak bakso saat dikejar petugas Satpol PP. Siti, yang berada di atas gerobak, tersiram kuah bakso saat gerobak terguling begitu dihadang petugas. Siti mengalami luka bakar hingga 67 persen. (DEE)

Selasa, 19 Mei 2009.

 

* * *

Warga Jagir Gugat Rp 399 Miliar

SURABAYA, KOMPAS – Sedikitnya 380 warga bantaran Kali Jagir menggugat Wali Kota Surabaya Bambang DH, Ketua DPRD Kota Surabaya Musyafak Rouf, dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Utomo. Mereka dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga harus memberi ganti rugi Rp 399 miliar.

Warga meminta para tergugat untuk membayar ganti rugi yang diderita secara materiil maupun imateriil. Secara umum, kerugian tiap orang diasumsikan Rp 50 juta sehingga untuk 380 warga berjumlah Rp 19 miliar. “Selain itu terdapat kerugian imateriil karena tindakan tergugat telah menghilangkan hak atas pekerjaan, tekanan psikologis, serta kehilangan artefak ibadah dan kebudayaan,” kata Direktur LBH Surabaya M Syaiful Aris.

Dalam gugatannya, warga menuntut agar Wali Kota Surabaya Bambang DH menghentikan segala upaya penggusuran dan pengusiran paksa. Penghentian langkah itu terutama yang menjadi pemukiman warga di sepanjang Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. “Warga juga minta agar Wali Kota mengeluarkan kebijakan terkait penggusuran,” ujar Aris.

Kebijakan yang dimaksud menyangkut berupa perlindungan dan pengayoman, serta jaminan-jaminan. Warga meminta jaminan keamanan, tempat tinggal, pekerjaan yang layak, kesehatan serta pendidikan. (BEE/DEE)

Rabu, 20 Mei 2009

Baca Lanjutannya....