08 June 2009

Mahasiswa dan Gated Community

Mahasiswa yang tawuran adalah seburuk-buruknya produk dunia pendidikan. Silakan ajukan jutaan alasan, mahasiswa yang tawuran tetap melukai hati rakyat. Mahasiswa yang tawuran ibarat pendeta yang selingkuh. Silakan ajukan jutaan alibi, mahasiswa yang tawuran adalah dekadensi moral paling berat. Ya, hanya moral yang menjadi amunisi mahasiswa. Anda tidak bisa mengaku mahasiswa jika hanya bermodal kecerdasan dan kecakapan pribadi. Mahasiswa adalah autonomost moral agent.

Mengalami menjadi mahasiswa adalah mengalami puncak dunia pendidikan. Puncak, dimana dari situ Anda (seharusnya) memandang kehidupan sebagai akhir dan tujuan dari rutinitas belajar. Non scholae sed vitae discismus, belajar bukan untuk sekolah, tapi untuk kehidupan. Pada kehidupan, mahasiswa mengabdi. Untuk sampai pada itu, mahasiswa mengerahkan akal dan budinya, disiplin ilmunya dan nilai-nilai hidupnya.

Kemampuan “mengulur horison”, menjadi visioner, menjadi imajinatif, memandang jauh ke depan, meyakini “cahaya di ujung terowongan”, sudah jarang kita jumpai di kalangan mahasiswa. Modernisasi membuat mahasiswa di metropolitan terpenjara dalam urusan-urusan tentang dirinya sendiri. Mahasiswa yang tidak mampu keluar dari penjara ini dan terus meributkan urusan-urusan pribadi atau ego kelompok, akan ditelan-telan bulat-bulat oleh kehidupan. Mahasiswa yang seperti ini akan menjadi budak modernisasi. Pada hakikatnya, ia sudah mati.

 

* * *

 

Sekumpulan orang yang melokalisir dirinya sendiri di balik pagar tinggi dan pos penjagaan dikenal dengan gated community. Mereka dicirikan lewat komplek perumahan bertembok tinggi dan pagar melingkar, mengepung rumah-rumah. Di gerbang masuk, ada petugas keamanan sewaan dan berderet-deret peraturan bagi orang yang datang dan pergi. Komplek ini harus selalu steril seperti aquarium berkaca gelap. Ada denyut kehidupan di dalamnya, tapi orang tidak tahu apa yang sedang berlangsung di dalamnya.

Mereka mendewakan keamanan dan kenyamanan. Mereka hidup dalam dunia yang mereka nikmati sendiri. Tentu saja mereka berasal dari kelas sosial di atas rata-rata. Seperti gasing, mereka punya irama berputar yang beda dengan dunia sekitarnya. Penghuni komplek hanya keluar gerbang seperlunya. Toh, seluruh kebutuhan untuk hidup sudah bisa mereka kendalikan dari dari balik pagar. Mereka menciptakan dunia –sekaligus akhiratnya– sendiri.

Gated community bermunculan di kota-kota. Bukan pemerintah atau agama atau budaya lokal yang mengatur hidup mereka, melainkan kepentingan mereka sendiri. Bukan etika, atau norma atau kaidah bersama yang membuat mereka tunduk, melainkan kebutuhan mereka sendiri. Jika kesemuanya itu dirasa mengganggu, mereka akan melapis pagar, menambah tembok atau memasang duri. Mereka merasa berhak menarik diri dari dunia sekitar. Di luar pagar, semuanya adalah musuh.

Mereka memburu kenyamanan dan keamanan, tapi sesungguhnya mereka hidup dalam ketakutan.

  

* * *

 

The Facts

 

Mahasiswa YAI-UKI Tawuran, Belasan Luka

 

JAKARTA, KOMPAS – Ratusan mahasiswa YAI dan UKI, Kamis (4/6) sore, tawuran. Belasan orang terluka. Kantin, ruang kuliah dan perpustakaan gedung UKI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, terbakar akibat bom molotov. Di Bekasi, seorang polisi dikeroyok puluhan tentara.

Suasana yang sudah mulai memanas sejak pukul 17.00 di Jalan Diponegoro itu mulai menjadi-jadi pada pukul 17.30. aksi saling melempar bom molotov, batu, botol dan benda keras lainnya di jalanan antara mahasiswa Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) dan mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) berubah setelah puluhan anggota Samapta Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat dua kali membendung bentrokan.

Saat kedua kelompok mahasiswa dihalau masuk kampus mereka yang bersebelahan, dari balik kampus puluhan mahasiswa YAI melemparkan bom molotov ke arah Kampus UKI.

 

Jumat, 5 Juni 2009

 

* * *

 

PORTAL

Pembongkaran Menuai Protes

 

JAKARTA, KOMPAS – Pembongkaran portal di perumahan Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (1/6) menuai protes.

Heru Tri Widodo, salah seorang warga RW 14, tergopoh-gopoh keluar rumahnya saat portal di depan rumahnya dibongkar petugas las. Ia mencari Wali Kota Jakarta Selatan Syahrul Effendi.

Di tengah para petugas yang membongkar portal, Heru mengancam, jika portal yang dibangun dengan kesepakatan warga dan dewan kelurahan setempat itu dirobohkan, dia akan pindah dari tempat tersebut.

“Kalau portal-portal dan ‘polisi tidur’ dibongkar, kawasan ini bakal tidak aman dan nyaman lagi. Lebih baik saya pindah. Rumah saya sewakan untuk tempat usaha,” teriaknya di lokasi pembongkaran di Jalan Sekolah Duta V.

Dia memperkirakan, pembongkaran portal akan memicu kalangan pengemudi kendaraan umum seperti metromini kembali bersikap ugal-ugalan. “Kalau sudah begini, siapa yang mau bertanggungjawab?” ujarnya.

Kepada warga yang berkerumun, Syahrul Effendi menjelaskan bahwa pembongkaran portal dan polisi tidur tidak dilakukan terhadap semua portal. “Hanya portal dan polisi tidur yang dinilai mengganggu lalu lintas dan menghambat penanggulangan bahaya saja yang dibongkar,”ucapnya.

Ia mengingatkan, di tempat-tempat tertentu, adanya portal justru akan menghambat mobilitas kendaraan pemadam kebakaran.

 

Selasa, 2 Juni 2009

No comments:

Post a Comment