01 June 2009

Birokrasi dan Korporasi

Dalam cerita pendek Orang-orang Terbungkam karya Albert Camus, Yvars adalah seorang lelaki tua pembuat tong yang muram dan sedih. Ia baru saja gagal menggalang pemogokan di pabriknya. Lassalle, sahabat sekaligus mandornya, mendadak membela pemilik pabrik dan menghalangi pemogokan. Yvars tahu pemilik pabrik pasti menolak buruhnya mogok, tapi Lassalle? Yvars tak menduga. Ia sedih karena tembok itu kini berlapis, sahabat dan mandornya kini jadi bagian dari sistem yang angkuh itu.

Ini adalah kisah tentang sistem dan pelakunya.

Layanan kesehatan di republik ini mau tidak mau harus diurus oleh para birokrat dan sistem yang telah keropos nilai. Sistem dan birokrasi itu berkelindan dengan sangat kompleks. Menurut aturan, mereka terhubung satu sama lain, tapi kasatmata kita menyaksikan mereka bekerja sendiri-sendiri. Sialnya, mereka juga dihinggapi “mentalitas proyek”.  Bekerja jika ada proyek dan selanjutnya, terima gaji buta.

Negara harus re-orientasi, tidak cukup hanya mengobati yang sakit tapi juga harus menyehatkan rakyat. Fasilitas dan subsidi kesehatan untuk orang miskin harus diprioritaskan. Sambil memikirkan itu, negara perlu bekerja sekuat mungkin mereformasi birokrasi. Merekalah mesin yang bekerja mewujudkan segala cita-cita ideal. Pada birokrasi kita menatap etos kerja para pamong. Jika para birokrat terus bekerja untuk dirinya sendiri, bangsa ini akan mencatat sejarah kelam tentang rakyat tanpa negara.

 

* * *

 

Korporasi tak pernah mau bekerja sendiri. Ia menggandeng siapa saja yang akan menguntungkan dirinya. Ia melayani siapa saja yang bisa memupuk labanya. Ia bermanis muka pada siapa saja yang membuka jalan bagi derasnya profit. Ia mengabdi pada laba. Profit adalah tuhannya.

Di negeri ini, korporasi tidak hanya menggandeng, melayani dan bermanis muka, ia intim dengan penguasa. Menjelang malam selalu terdengar bisikan lembut di telinga penguasa, “lancarkan bisnisku, maka kulayani keinginanmu. Jauhkan para pengganggu itu dari perputaran uangku, maka kubuat kau bertahta selamanya”. Menjelang istirahat makan siang, sang penguasa mengulangi pidato yang sama di hadapan rakyat, “kami solider terhadap korban dan berkomitmen menyelesaikan masalah ini secepatnya. Korporasi harus segera menuntaskan tanggung jawabnya pada para korban”. Tapi, kejadian tadi malam terulang lagi. Ada bisikan intim di telinga yang membuat lelap penguasa.

Hanya terjadi di negeri ini, masalah sosial yang memilukan dan menghina martabat manusia bisa bertahan sampai tiga tahun. Masalah yang terang benderang ini dibuat berkabut dan penuh kompromi. Di ujung kompromi dan lobi-lobi itu ada keluarga-keluarga yang hilang masa depannya. Di balik kertas peraturan, ketetapan dan kesepakatan antara negara dan korporasi, ada wajah kanak-kanak yang telah terenggut dunianya.

Yang dibutuhkan hanyalah hati yang berpihak, batin yang empatik dan suara hati yang solider pada korban. Dari situ akan tampak ketegasan, keberanian, jiwa kesatria dan kenegarawanan. Berturut-turut di belakang itu baru disuguhkan segala aturan, kewenangan, ketetapan dan syarat-syarat yang diperlukan agar para korban terpenuhi haknya. Sebab tak ada tempat bertanya paling jujur selain batin kita sendiri.

Samar-samar aku mendengar bisikan lembut itu lagi, tapi kali ini aku berharap sang penguasa bangkit dari ranjang dan mengusir sang pembisik pergi jauh.

 

* * *

  

The Facts

 

Anak Dirawat, Orangtua Tak Mampu Tebus Obat

Berjuang untuk Mendapatkan Kartu Jamkesmas

 

JAKARTA, KOMPAS – Muhammad Akbar Firdaus kini tergeletak tak berdaya di ruang kelas III RSUD Koja, Jakarta Utara, Selasa (26/5), karena menderita gizi buruk dan diare. Kondisinya semakin memprihatinkan karena kedua orangtuanya, Karnadi (29) dan Sutinah (28), tidak mampu menebus obat.

Meski kondisi ekonomi kedua orangtua Akbar tergolong miskin, mereka tidak mendapat dispensasi pelayanan pengobatan gratis karena tidak memiliki kartu Keluarga Miskin (Gakin), surat keterangan tidak mampu (SKTM), atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Karnadi dan Sutinah tidak memiliki kartu Gakin dan SKTM karena tidak memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Permohonan untuk mendapatkan kartu Jamkesmas ke Departemen Kesehatan yang sudah diajukan sejak Februari lalu juga belum dikabulkan.

“Saya tidak pegang uang. Saya bekerja sebagai sopir taksi dengan penghasilan sehari habis untuk hari itu juga. Saat anak sakit, saya tidak bisa bekerja. Saya bingung, bagaimana harus menebus obat,” kata Karnadi sambil menggendong dan membujuk Akbar yang sedang rewel di kamar 410

Rabu, 27 Mei 2009

 

* * *

Korban Lumpur Protes

3 Tahun Lumpur Lapindo, Semburan Gas Semakin Meluas

 

SIDOARJO, KOMPAS – Sekitar 1.000 korban lumpur Lapindo dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Sidoarjo berunjuk rasa pada Rabu (27/5) di Sidoarjo dan Surabaya. Dari Sidoarjo ke Surabaya, ribuan warga itu berkonvoi sepeda motor dan mobil. Aksi itu dilakukan setelah beberapa warga belum menerima cicilan ganti rugi Rp 15 juta pada Mei 2009.

Selain memprotes belum diterimanya cicilan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya untuk bulan ini, warga berunjuk rasa ke kantor Bank Indonesia Surabaya. Mereka meminta perpanjangan masa perlakuan khusus kredit perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo. Sejak awal 2007, korban lumpur dari Perumtas dibebaskan beban bunga dan denda cicilan rumah dari bank yang mengucurkan kredit.

“Ada sekitar 400 warga kami yang belum menerima cicilan sisa pembayaran 80 persen sebesar Rp 15 juta untuk bulan ini. Selain itu, batas perlakuan khusus kredit rumah bagi korban lumpur di Perumtas akan berakhir pada 29 Mei 2009. Kami minta perbankan agar memperpanjang masa perlakuan khusus tersebut.,” ucap koordinator warga Perumtas Koes Sulassono.

Kamis, 28 Mei 2009

No comments:

Post a Comment