Yang abadi adalah kepentingan. Di republik ini, kepentingan jarang terbaca sebagai lain hal kecuali kekuasaan. Para pecundang merapat pada yang mapan. Para parasit menempel pada yang menang. Ini “bussines as usual”. Yang kalah mencari kambing hitam dan yang menang berlindung di balik prosedur dan aturan. Maka diktum klasik tetap berlaku, ”siapa memiliki emas, dialah yang yang menentukan aturan”.
Sementara rakyat berkubang dalam hidup yang keras, para politikus ini sibuk menghitung peluang. Sementara rakyat terus melamunkan masa depan anak-anaknya, mereka bermain-main dengan negara ini. Menyeret yang publik (respublica) ke dalam ruang rapat dengan spanduk besar bertuliskan ”urusan kami” (resprivata). Mereka mengira rakyat tidak membaca gerak-gerik licik mereka. Jangan salah, revolusi sosial sedang mengintip di balik panggung kekuasaan itu. Pemicu revolusi paling mujarab adalah tingkah-polah para politikus itu.
Ah, aku merindu para negarawan yang gemar mendarma pemikiran-pemikiran beyond Indonesia. Aku merindu Nurcholish Madjid, Hatta, Sutan Syahrir. Aku merindu sosok-sosok yang mendedikasikan hidupnya untuk being Indonesia. Aku merindu pejuang-pejuang tanpa nama yang memenangkan hati rakyat dengan merebut martabat yang telah tercecer menjadi serpihan mungil.
* * *
Mungkin mereka keras kepala. Tapi itu karena hati mereka dicederai. Mungkin mereka bisu. Tapi itu karena memang mereka ingin menaklukan hati penguasa dalam diam. Mungkin mereka sedikit. Tapi yang sedikit itu akan terus mengusik. Mungkin mereka sepele. Tapi sebenarnya mereka sedang membangun istana bernama ”penghargaan pada martabat manusia”.
Mereka hanya diam dalam seragam hitam. Hujan, terik dan tatapan aneh pengguna jalan adalah lecutan asa bagi aksi simpatik ini. Wajah orang-orang tercinta yang mereka bela adalah aliran darah bagi denyut perjuangan empatik ini. Penegakan hukum dan perlindungan bagi rakyat adalah ruh bagi tiap raga yang menantang istana negara dengan heroik ini.
Segala cara telah dicoba, namun penguasa tetap liat. Segala usaha telah diajukan, namun penguasa tetap pintar berkelit. Entah bagaimana, para pelaku saling berkelindan melindungi dirinya dan koleganya. Maka, jika itu semua belum cukup, setidaknya generasi berikut akan berpikir lebih cerdas, bagaimana meruntuhkan penguasa yang beku hatinya itu.
Doa kami untuk para pemenang yang keras kepala, bisu, sedikit sepele ini.
* * *
The Facts
JK Merapat Kembali ke SBY
Kalla Temui Yudhoyono di Puri Cikeas
Selasa, 14 April 2009
Jakarta, Kompas - Setelah berkompetisi dalam kampanye dan pemilu legislatif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Senin (13/4), duduk semeja di Ruang Rapat Kantor Presiden, Jakarta. Mereka membahas rencana kerja pemerintah tahun 2010.
Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, Senin malam, menemui Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Kalla tiba sekitar pukul 22.00.
Dengan capaian suara menurut hitung cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Golkar tidak mencapai angka 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional sesuai dengan target awal. Hal itu membuat Golkar berhitung untuk mengajukan kadernya sebagai calon presiden.
* * *
AKSI KAMISAN
Cinta Kasih dan Harapan
Jumat, 17 April 2009
Langit berawan gelap ketika korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia memulai aksi kamisan ke-106. Telah berkali-kali aksi itu digelar untuk menuntut penuntasan perkara pelanggaran HAM, tetapi berkali-kali pula tuntutan itu diabaikan.
”Cinta dan kasihlah yang membuat kami tetap mampu bertahan. Cinta dan kasih dari anak, keluarga, dan teman kami yang tewas dan hilang yang membuat kami tetap kuat dan teguh meneruskan perjuangan mereka,” kata Sumarsih, ibunda mendiang BR Norma Irmawan atau akrab dipanggil Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, Jakarta, yang tewas dalam kerusuhan Semanggi, 13 November 1998.
AKSI KAMISAN
Cinta Kasih dan Harapan
Jumat, 17 April 2009
Langit berawan gelap ketika korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia memulai aksi kamisan ke-106. Telah berkali-kali aksi itu digelar untuk menuntut penuntasan perkara pelanggaran HAM, tetapi berkali-kali pula tuntutan itu diabaikan.
”Cinta dan kasihlah yang membuat kami tetap mampu bertahan. Cinta dan kasih dari anak, keluarga, dan teman kami yang tewas dan hilang yang membuat kami tetap kuat dan teguh meneruskan perjuangan mereka,” kata Sumarsih, ibunda mendiang BR Norma Irmawan atau akrab dipanggil Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, Jakarta, yang tewas dalam kerusuhan Semanggi, 13 November 1998.
No comments:
Post a Comment