Koalisi adalah panggung. Penonton memang datang untuk menonton drama. Ritualnya jamak ; prolog, tepuk tangan, pidato ringan yang berbunyi ”untuk bangsa dan negara’, tepuk tangan lagi, pidato berat yang berbunyi ”pada prinsipnya kami bisa bersama”, tepuk tangan lagi dan penutupnya tersirat ”kalau koalisi tidak menguntungkan partai kami, ogah!”. Penonton pulang dalam damai dan senyum, layar digulung, tapi masalah belum juga terselesaikan. Jangan harap aktor-aktor itu akan menyelesaikan masalah. Ini cuma panggung, kawanku.
Ada invisible hand yang di balik panggung itu. Dialah dalang atas segala perkara dan masalah yang menggantung di ujung drama itu. Kita dengan mudah mengenalnya sebagai ”kekuasaan”, tapi lebih tepat bila menambahkan kata ”birahi” di depannya. Kita juga bisa menjulukinya ”negara yang sedang absen”. Pejabat, politikus dan negara tidak pernah ada bersama kita. Mereka sedang sibuk mematut-matut diri di depan cermin. Mereka tidak memihak apapun, hanya butuh tepuk tangan.
Peduli apa rakyat pada koalisi? Peduli apa politikus pada rakyat? Peduli apa kita pada semua ini? Mereka mungkin punya legitimasi, tapi hidup tetap milik kita, jangan gadaikan pada mereka. Itulah Lex naturalis (hukum kodrat) yang dibisikkan Thomas Aquinas pada kita, pemilik jaman.
Penonton yang menentukan skenario drama di panggung bukanlah mustahil.
* * *
Suara Sipon adalah voice of voiceless. Memang hari ini suara itu tidak bergema. Ia lamat-lamat sepi ditimpa suara nyaring dari mercusuar kekuasaan. Ia kabur, berkabut berita-berita tentang koalisi partai-partai. Tapi, suara itu tak pernah sungguh-sungguh hilang. Ia sedang menelusup ke sel-sel kelabu otak kita. Menerobos dengan lambat ke batin kita. Suara itu, meski terdistorsi, mengingatkan kita tentang keadilan.
Jika para korban berkumpul, Tuhan singgah di sekitarnya. Jika mereka bersuara, jangan anggap remeh, karena Tuhan ada di pihak mereka. Jika mereka yang terlukai mulai bersikap, berhati-hatilah, luka itu akan menjadi sangat perih hingga mereka tak akan pernah diam. Jika mereka yang tercederai mulai bergerak, beri mereka jalan, mereka akan terus berlari bersama cedera itu.
Lalu kemana orang kebanyakan akan bergerombol? Bukankah mereka tercerai di sembarang tempat, sedang berjuang melanjutkan hidup? Agaknya mereka sedang sabar menunggu pemicu sampai penguasa mengoyak-ngoyak rasa keadilan mereka yang tipis itu. Mereka sedang sibuk bergumam lirih memperbincangkan keterbungkaman mereka. Jika saatnya tepat, keterbungkaman itu akan meledak menjadi amarah. Tentu saja amarah pada kekuasaan. Lalu, detik berikutnya, penguasa di atas kursi nikmat itu akan pontang-panting menyelamatkan diri. Sebab keadilan tidak bisa ditunggu, ia harus direbut. Ditagih.
Mungkin Sipon yang mewakili para pejuang bisu itu sedang menyerukan bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Mungkin.
* * *
The Facts
SBY-JK Bercerai
Kamis, 23 April 2009
Jakarta, Kompas - Duet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla harus berakhir pada 20 Oktober 2009. Baik Partai Demokrat maupun Partai Golkar tidak mencapai titik temu untuk membangun koalisi. Kedua partai itu kini siap bertarung di pemilu presiden.
Buntunya pembicaraan Demokrat-Golkar karena Partai Demokrat tetap meminta lebih dari satu nama calon wapres. Padahal, berdasarkan keputusan rapimnasus tahun lalu, Partai Golkar sudah menyepakati satu nama untuk cawapres.
Berakhirnya koalisi Golkar-Demokrat disambut beragam. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita tidak menyetujui keputusan itu. Menurut Ginandjar, para petinggi Golkar seharusnya dapat menahan diri. Kepentingan partai tidak boleh tunduk pada kepentingan seseorang, termasuk Ketua Umum Golkar.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/23/03132421/sby-jk.bercerai
* * *
Kontestasi Politik Jangan Abaikan HAM
Jumat, 24 April 2009
Jakarta, Kompas - Kontestasi politik dengan koalisi antarparpol yang dibangun diharapkan tidak mengabaikan upaya penegakan HAM. Di tengah kontestasi itu, para korban pelanggaran HAM berharap beberapa partai politik yang selama ini cukup intensif berupaya menegakkan HAM tidak mengambil jalan pintas demi memenangi kekuasaan dan menafikan semua perjuangan yang telah mereka tunjukkan.
”Isu koalisi PDI Perjuangan-PAN-PPP dengan Partai Gerindra dan Hanura terlihat sebagai proyeksi gelap penegakan HAM pada masa mendatang,” kata Sipon, istri Wiji Thukul korban penculikan aktivis 1998.
Dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (23/4) itu, hadir pula Suciwati (istri mendiang Munir), Oetomo (orangtua Petrus Bimo Anugerah, korban penculikan), Sumarsih (orangtua BR Norma Irmawan, korban kasus Semanggi), Tineke Rumkabu (korban kasus Biak 1998), serta Salmiati yang korban DOM di Aceh.
”Kekuasaan harus demi kepentingan rakyat, demi pemenuhan kesejahteraan, keamanan, keadilan, dan kebenaran. Kami berharap koalisi yang dibangun tidak hanya sebatas pembagian kekuasaan, tetapi didasarkan pada agenda bersama, khususnya hak asasi manusia dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik,” kata Sipon.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/24/03454032/kontestasi.politik.jangan.abaikan.ham
Kamis, 23 April 2009
Jakarta, Kompas - Duet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla harus berakhir pada 20 Oktober 2009. Baik Partai Demokrat maupun Partai Golkar tidak mencapai titik temu untuk membangun koalisi. Kedua partai itu kini siap bertarung di pemilu presiden.
Buntunya pembicaraan Demokrat-Golkar karena Partai Demokrat tetap meminta lebih dari satu nama calon wapres. Padahal, berdasarkan keputusan rapimnasus tahun lalu, Partai Golkar sudah menyepakati satu nama untuk cawapres.
Berakhirnya koalisi Golkar-Demokrat disambut beragam. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita tidak menyetujui keputusan itu. Menurut Ginandjar, para petinggi Golkar seharusnya dapat menahan diri. Kepentingan partai tidak boleh tunduk pada kepentingan seseorang, termasuk Ketua Umum Golkar.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/23/03132421/sby-jk.bercerai
* * *
Kontestasi Politik Jangan Abaikan HAM
Jumat, 24 April 2009
Jakarta, Kompas - Kontestasi politik dengan koalisi antarparpol yang dibangun diharapkan tidak mengabaikan upaya penegakan HAM. Di tengah kontestasi itu, para korban pelanggaran HAM berharap beberapa partai politik yang selama ini cukup intensif berupaya menegakkan HAM tidak mengambil jalan pintas demi memenangi kekuasaan dan menafikan semua perjuangan yang telah mereka tunjukkan.
”Isu koalisi PDI Perjuangan-PAN-PPP dengan Partai Gerindra dan Hanura terlihat sebagai proyeksi gelap penegakan HAM pada masa mendatang,” kata Sipon, istri Wiji Thukul korban penculikan aktivis 1998.
Dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (23/4) itu, hadir pula Suciwati (istri mendiang Munir), Oetomo (orangtua Petrus Bimo Anugerah, korban penculikan), Sumarsih (orangtua BR Norma Irmawan, korban kasus Semanggi), Tineke Rumkabu (korban kasus Biak 1998), serta Salmiati yang korban DOM di Aceh.
”Kekuasaan harus demi kepentingan rakyat, demi pemenuhan kesejahteraan, keamanan, keadilan, dan kebenaran. Kami berharap koalisi yang dibangun tidak hanya sebatas pembagian kekuasaan, tetapi didasarkan pada agenda bersama, khususnya hak asasi manusia dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik,” kata Sipon.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/24/03454032/kontestasi.politik.jangan.abaikan.ham
No comments:
Post a Comment