Khoiyaroh adalah peringatan. Kematiannya mengingatkan kita untuk selalu tunduk pada suara hati. Kanak-kanak Khoiyaroh mengajak kita untuk melepaskan kemelekatan yang membuat bising batin dan pada akhirnya mengaburkan suara hati. Kemelekatan itu ada pada jabatan, harta dan status sosial. Kemelekatan itu membuat kita menjadi manusia yang tidak lepas-merdeka-bahagia. Ia juga menyilaukan dan memacu adrenalin kita untuk terus menumpuk, merebut, menguasai dan menyingkirkan yang lain.
Beginilah jadinya kalau sipil dipersenjatai. Tugasnya sebagai pamong terbungkus pentungan dan seragam. Fungsinya sebagai pengayom terlilit wewenang untuk sewenang-wenang. Satpol PP itu melekat pada jabatan, tugas dan senjatanya hingga suara hatinya riuh tak terdengar. Yang nyaring di telinganya hanyalah perintah dan komando atasan. Kemelekatan membutakan, menulikan dan mengubur suara hati manusia yang luhur.
Khoiyaroh tidak sendiri. Ada jutaan warga yang selalu menderita karena para pamong tidak berpihak padanya. Pamong bekerja untuk atasannya. Atasannya bekerja untuk bosnya. Bosnya bekerja untuk juragannya. Juragannya bekerja untuk penguasa. Penguasa bekerja demi jabatan, harta dan status sosialnya sendiri. Maka sejatinya tidak ada yang bekerja untuk mengayomi Khoiyaroh dan jutaan warga lainnya.
Gelekat Lewo Gewayang Tanah, yang dalam bahasa Flores berarti mengabdi pada kepentingan publik, ternyata hanya ada di komik.
Marah pada siapa? Marah pada apa? Marah untuk apa? Amarahku tersumbat dan segera meledak.
* * *
Kekuasaan adalah legitimasi. Padanya ada amanah.
Rakyat yang menggugat adalah rakyat yang kuat. Sebab, martabat harus diperjuangkan, sebesar apapun tembok yang akan digempur. Rakyat yang kuat adalah rakyat yang terorganisir. Organisasi warga sipil yang solid jauh lebih kuat dari kekuasaan apapun. Sebab hanya martabat yang dipertaruhkan. Maut tak akan membuat mereka takut. Kematian memperjuangan martabat adalah kehormatan. Sementara “musuh” mereka memperjuangkan banyak hal, organisasi warga sipil hanya ingin membela martabat. Maka, kaki tak bisa mundur, tekad tak akan urung. Melawan atau ditindas.
Kini kota tak lagi ramah pada penghuninya. Kini kota merasa perlu menggusur mereka yang mengotori wajahnya. Kota adalah pertumbuhan, percepatan dan pembangunan. Tidak ada tempat bagi mereka yang hanya sekedar ingin mencari nafkah, mengais rejeki. Kota adalah estetika, harmonisasi dan keindahan. Tidak ada tempat bagi mereka yang menumpang hidup, merantau dan memperbaiki nasib. Kota adalah awal, akhir dan pusat kehidupan. Tidak ada tempat bagi mereka yang sekedar ingin menyambung nafas, membangun keluarga sederhana dan bekerja seadanya. Maka, melawanlah atau ditindas.
Warga miskin di kota besar ibarat lumut hijau yang menempel di kolam porselen bening dan mahal. Kecil tapi mengganggu. Warga miskin di kota besar ibarat benalu di pohon beringin raksasa. Berjejalan dan merusak. Warga miskin di kota besar ibarat parasit di rangkaian bunga yang harum dan indah. Merambat dan bau. Kota seketika menjadi angkuh. Ia tak lagi bersahabat dengan desa yang menyumbang banyak hal padanya. Di Indonesia, warga digusur dari tanah lahirnya sendiri. Warga diusir dari bumi pertiwinya sendiri. Maka, melawanlah atau ditindas.
Kekuasaan adalah amanah. Padanya ada legitimasi.
* * *
The Facts
Khoiyaroh Akhirnya Meninggal
SURABAYA, KOMPAS – Siti Khoiyaroh (4), balita penderita luka bakar akibat tersiram kuah panas bakso pada saat penertiban pedagang kaki lima di Jalan Boulevard, Surabaya, akhirnya meninggal di Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya, Senin (18/5). Siti dinyatakan gagal melewati masa kritis kedua saat mengalami gagal fungsi organ tubuh. Siti mengalami gagal fungsi paru-paru, jantung dan ginjal.
Saat penertiban PKL pada Senin (11/5) lalu, Sumariyah, ibu Siti, panik berlari seraya membawa gerobak bakso saat dikejar petugas Satpol PP. Siti, yang berada di atas gerobak, tersiram kuah bakso saat gerobak terguling begitu dihadang petugas. Siti mengalami luka bakar hingga 67 persen. (DEE)
Selasa, 19 Mei 2009.
* * *
Warga Jagir Gugat Rp 399 Miliar
SURABAYA, KOMPAS – Sedikitnya 380 warga bantaran Kali Jagir menggugat Wali Kota Surabaya Bambang DH, Ketua DPRD Kota Surabaya Musyafak Rouf, dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Utomo. Mereka dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga harus memberi ganti rugi Rp 399 miliar.
Warga meminta para tergugat untuk membayar ganti rugi yang diderita secara materiil maupun imateriil. Secara umum, kerugian tiap orang diasumsikan Rp 50 juta sehingga untuk 380 warga berjumlah Rp 19 miliar. “Selain itu terdapat kerugian imateriil karena tindakan tergugat telah menghilangkan hak atas pekerjaan, tekanan psikologis, serta kehilangan artefak ibadah dan kebudayaan,” kata Direktur LBH Surabaya M Syaiful Aris.
Dalam gugatannya, warga menuntut agar Wali Kota Surabaya Bambang DH menghentikan segala upaya penggusuran dan pengusiran paksa. Penghentian langkah itu terutama yang menjadi pemukiman warga di sepanjang Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. “Warga juga minta agar Wali Kota mengeluarkan kebijakan terkait penggusuran,” ujar Aris.
Kebijakan yang dimaksud menyangkut berupa perlindungan dan pengayoman, serta jaminan-jaminan. Warga meminta jaminan keamanan, tempat tinggal, pekerjaan yang layak, kesehatan serta pendidikan. (BEE/DEE)
Rabu, 20 Mei 2009
No comments:
Post a Comment