Bangsa ini benar-benar butuh politikus dan birokrat yang asketis. Mereka yang mau bertekun dalam kerumitan, konsisten dalam sikap dan ketat dalam praktek. Telah sembilan kali sejak Proklamasi kita menggelar Pemilu akbar-nasional, namun tahun ini kita masih berantakan merencanakan dan menata Pemilu. Banyak alasan di balik keruwetan Pemilu tahun ini. Selain sistem dan cara baru, juga karena dianggap KPU kurang cakap. Tapi alasan-alasan itu tidak pantas dijadikan tameng.
Pemilu bukan sekedar hajat bangsa, tapi juga cermin cara kita berdemokrasi. Keruwetan Pemilu mencerminkan kita masih kanak-kanak yang sok demokratis. Politikus dan birokrasi kita masih susah sekali melepaskan kepentingan kelompok dan partainya dalam memutuskan apa yang menjadi nasib bangsa. Soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang morat-marit dan rawan rekayasa, orang awam cuma bisa geleng-geleng kepala. Orang awam cuma bisa mahfum bahwa birokrasi memang selalu membuat yang mudah menjadi rumit.
Pemilu memang cuma prosedur demokrasi, tapi jika kita kedodoran di sana, bagaimana kita akan membangun kultur demokrasi?. Demokrasi prosedural juga penting, mahal dan mewah, namun tanpa demokrasi kultural, ia ”bagai lampu kristal yang mewah, ada di ruang tamu, hiasan lambang gengsi. Tinggal membeli, tenang sajalah” (Anda penggemar Iwan Fals, pasti tahu lirik ini).
* * *
Kapitalisme tak akan pernah runtuh. Ia cerdik, licin, licik dan mampu memetaforsa dirinya sendiri menjadi seperti dunia menginginkannya. G-20 mungkin sebuah forum mahapenting bagi ekonomi dunia, tapi sejatinya ada drama yang sedang dipentaskan. Drama itu berjudul ”kemakmuran bagi dunia, kesejahteraan bagi umat manusia, lumbung uang untukku”. Drama itu dipentaskan dengan penghayatan yang total, gestur yang maksimal oleh aktor-aktor banal.
Periode kemakmuran hanya milik mereka yang selalu lantang berpidato tentang pasar bebas. Milik mereka yang kakinya tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di daerah miskin dengan keluarga-keluarga kelaparan. Sementara pasar bebas dirundingkan agar menjadi ideologi dunia, sementara itu pula jurang kemiskinan tak pernah berubah.
Kini, kapitalisme sedang berwajah neo-imperialisme. Sasarannya adalah apapun dan siapapun yang bisa dijadikan mesin uang yang memutarkan modal demi modal itu sendiri (dan ongkos bahan bakar jet pribadi kapitalis itu). Di Indonesia, neo-imperialisme itu berwujud pada privatisasi aset-aset bangsa. Privatisasi adalah sebuah proses elite, internasional dan sangat politis, yang berkebalikan dengan proses pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara yang merakyat, nasional dan pragmatis. Privatisasi tidak pernah dilandasi dengan musyawarah publik. (Globalization Unmasked, 2001).
Ah, kesedihanku membuncah karena sedikit caleg yang gelisah soal ini.
* * *
The Facts
Perbaikan DPT Sulit
KPU Daerah Tidak Punya Aparat
Selasa, 31 Maret 2009
Jakarta, Kompas - Perbaikan daftar pemilih tetap tidak bisa diharapkan. Pasalnya, Data Penduduk Potensial Pemilih yang diberikan Departemen Dalam Negeri kepada Komisi Pemilihan Umum banyak mengandung kelemahan.
Komisi Pemilihan Umum di kabupaten/kota tidak bisa berbuat banyak untuk menyempurnakan Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) karena Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hanya bekerja tiga bulan, yaitu 6 Juni-6 Agustus 2008.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/31/02552339/perbaikan.dpt.sulit
* * *
G-20 Buka Era Baru
Sabtu, 4 April 2009
London, Kompas - Pertemuan G-20, kumpulan negara maju dan berkembang, di London, Inggris, Kamis (2/4), menghasilkan beberapa langkah nyata yang dianggap sebagai pertanda lahirnya sebuah era baru dalam perekonomian global. Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutnya sebagai kompromi historis.
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sebagai tuan rumah bahkan mengatakan, ”Konsensus Washington lama berakhir sudah.”
Konsensus Washington pertama kali disebutkan oleh ekonom Amerika Serikat, John Williamson, pada tahun 1989. Konsensus ini merujuk pada konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi yang diinginkan Washington (Gedung Putih), yang dipaksakan lewat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, terutama saat kedua lembaga ini memberikan bantuan dana kepada negara yang terpukul krisis ekonomi.
Konsensus Washington kemudian dianggap sebagai instrumen neoliberalisme atau neokapitalisme. Konsensus ini memaksa semua negara yang belum siap untuk membuka diri terhadap persaingan internasional.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/04/02311236/g-20.buka.era.baru
05 April 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment